RSS2.0

Ulil; Kala Ahmadiyah Dilarang

Selasa, 29 Januari 2008

Seandainya Ahmadiyah dilarang beneran, apa kira-kira yang terjadi? Apakah ribuan anggota Ahmadiyah akan dipenjara? Atau dipaksa masuk Islam? Dipaksa keluar dari Islam?

Salah satu alternatif yang diajukan oleh banyak kalangan adalah anggota Ahmadiyah diminta keluar dari Islam dan dianjurkan membuat agama sendiri.

Alternatif ini mengandung paradoks yang sangat menggelikan: sebab, tumben sekali umat Islam meminta ribuan orang untuk keluar dari Islam. Biasanya umat Islam kebakaran jenggot jika ada seseorang keluar dari Islam. Sekarang, malah mereka menyuruh sutu golongan untuk "bedol desa" dan keluar dari Islam.

Ulil

Ulil Abshar-Abdalla
Department of Near Eastern Languages and Civilizations
Harvard University
Read more!

Perjuangan Dalam Hidup

Dalam Alqur'an , perjuangan disebut dengan term jihad .Kata jihad dalam berbagai kata bentukannya disebut sebanyak 41 kali tersebar dalam 19 ayat. Sebagian turun di Makkah dan sebagian di Madinah. Secara lughawi, jihad nengandung arti memerangi musuh, mencurahkan segala kemampuan dan tenaga berupa kata-kata, perbuatan atau segala sesuatu yang disanggupinya. Kata jihad, bisa berarti perjuangan dalam bentuk perang melawan musuh, bisa juga berarti bekerja keras non perang. Dari akar kata jihad inilah kemudian ada kalimat ijtihad, yakni kerja keras secara intelektual, berjuang secara intelektual dan mujahadah an nafs, kerja keras secara ruhaniah , perjuangan spiritual.

Sedangkan dalam hadis Nabi, kata jihad juga digunakan dalam kontek perjuangan spiritual ibadah haji, .Perintah jihad ada yang ditujukan kepada pribadi (mukhatab mufrad) dan kebanyakan ditujukan kepada kelompok (mukhatab jamak).. Perintah jihad juga ada yang disebut obyeknya, tetapi lebih banyak yang tidak menyebut obyeknya. Yang disebut justeru maknanya, yaitu jihad di jalan Alloh SWT, fi
sabililah. Kaidah penafsiran mengajarkan bahwa jika suatu kata kerja transitip disebutkan dalam suatu ayat tanpa disertai penyebutan obyeknya, maka obyek kata kerja itu bersifat umum.

Dengan demikian maka obyek jihad bukan hanya musuh dalam peperangan , tetapi segala hal yang tercakup dalam kalimat fisabilillah. misalnya memberi makan fakir miskin, membebaskan perbudakan (al Balad; 13-16) Dengan demikian maka jihad tidak mesti menggunakan senjata, tetapi bisa juga pena atau lisan. Dalam konteks ini, guru yang dengan kesejahteraan minimal tetapi optimal dalam mencerdaskan generasi bangsa adalah pejuang atau mujahidin, pekerja sosial yang bergelut mempertaruhkan segala kemampuannya untuk membantu mengangkat martabat masyarakat sesunguhnya adalah juga mujahidin atau pejuang.

Ciri pejuang adalah gigih berpegang teguh kepada prinsip yang dianut meski beresiko mati. Nah orang yang tengah berjuang kemudian mati dalam perjuangannya disebut mati syahid (arti syahid = saksi) , maknanya kematian itu menjadi saksi atas kegigihan usahanya, dan itu merupakan taruhan dari kehormatannya. Untuk orang-orang terhormat,
kata Nabi hanya ada dua pilihan; `isy kariman aw mut syahidan, hiduplah secara mulia atau mati sebagai syahid.

Salam Cinta,
agussyafii
Read more!

Kebenaran

Perjalanan Mencari Kebenaran
Oleh Wanddi Irfandi

“anda tidak akan menemukan agama di gereja (atau rumah ibadat lainnya) dan sekalipun anda menemukannya, yang anda temui disana biasanya merupakan agama keturunan atau merupakan hal yang sekunder” (religion: a secular theory)

Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga yang taat pada pada tuhan. Berbagai ritual keagamaan yang, katanya, wajib dan atau sunnah dikerjakan. Ayahku adalah salah seorang pendiri sebuah pesantren yang cukup besar di daerah. Selain itu juga ia menjadi bendahara sekaligus “Pengawal pribadi” Sedangkan Ibuku menjadi bendahara Istri di pesantren tersebut. Anak-anaknya yang berjumlah 4 orang semuanya di sekolahkan di Pesantren tersebut. Tak pelak predikat anak sholeh pun melekat padaku.

Lingkungan masyarakat yang sangat patuh terhadap norma-norma agama semakin mengukuhkan predikat soleh tersebut. Sehingga segala tingkah laku, ucapan, dan tindakan yang kulakukan harus sesuai dengan norma-norma agama bahkan harus sesuai dengan yang diajarkan oleh guru (ustadz) di pesantren tersebut, tak peduli aku faham atau tidak.

Namun predikat sholeh tersebut tak membuatku bangga atau menjadi lebih alim (sholeh). Justru menjadi sebaliknya, kebingungan akan apa yang ku alami semakin menjadi, pertanyaan-pertanyaan yang katanya nyeleneh menjadi akibat yang tak terelakan dari kebingungan tersebut. Rasa terisolir justru yang terus menerus menyengat. Terbukti aku hanya diterima oleh kawan se-pesantren di antara kawan sebaya yang ada. Entah aku yang kurang gaul atau memang mereka terlalu sungkan terhadapku.

Ayahku yang menjadi pendiri sebuah pesantren, ternyata mempunyai latar belakang yang sama sekali jauh dari keagamaan. Ia menemukan pencerahan akan keagamaan justru setelah menjadi “pengawal pribadi” pimpinan pesantren. Itu pun dalam baca tulis al-Qur’an masih belum benar-benar lancar.

Sehingga yang dilakukan ayahku hanyalah sebatas mengurus keuangan pesantren dan itu sudah berlangsung + 5 tahun. Ayahku memang menguasai tentang akuntansi dan administrasi keuangan, ma’lum ia memang lulusan perguruan tinggi jurusan ekonomi dan akuntansi.

Berbeda dengan ibuku yang memang sebelumnya “katanya” sering ikut berbagai pengajian dan pendidikan keislaman walaupun ortodoks. Sehingga dalam hal pemahaman keagamaan cenderung lebih faham dari pada ayahku. Pun begitu dengan baca tulis al-Qur’an ia lebih lancar bahkan jauh lebih lancar daripada aku sendiri. Makanya ia senantiasa mengikuti pengajian dan senantiasa menjadi penda’i bagi kaum ibu-ibu.

Saat ini jadualnya dipenuhi oleh menghadiri pengajian di berbagai daerah, entah ia menjadi pembicara atau pun hanya sebatas hadir. Dalam satu bulan, biasanya ibuku menghadiri pengajian sampai dengan 3 kali di luar daerah dan setiap minggu mengisi pengajian di daerahnya di berbagai pondok pesantren atau mesjid.

Oleh karena itu anak-anaknya pun disekolahkan di pesantren dengan harapan mampu memahami dan pada akhirnya mampu mengamalkannya. Namun apa lajur keinginan yang diharapkan tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Bahkan yang lebih parah dari 4 anak yang dimasukkan ke pesantren barangkali hanya satu yang “dianggap” berhasil lulus di pesantren itu. Sedangkan yang lainnya pindah ke sekolah umum dan tidak lagi melanjutkan pencarian ilmu keislaman.

Anak yang pertama pindah dari pesantren ketika memasuki kelas 2 dengan alasan ingin ikut jurusan IPA. Aku sendiri pindah ke sekolah umum waktu kelas 2 dan masuk jurusan Bahasa. Adikku yang lebih bungsu lebih parah lagi. Ia memutuskan untuk berhenti sekolah, karena baginya sekolah hanyalah tempat manusia menjadi robot-robot industri atau menjadi kuli di sebuah perusahaan. Hanya adikku yang ke-tiga sajalah yang lulus dari pesantren tersebut.

Ketika di pesantren aku justru mencari-cari kebenaran-kebenaran ritual keagamaan (baca: Ibadah; red). Seperti bagaimana tata cara sholat yang benar beserta landasan hukum yang berlaku. Kemudian bagaimana perilaku hidup dengan lain agama, atau kenapa Islam yang ada terbagi berbagai macam aliran dan ke semuanya mengklaim paling benar.

Namun jawaban yang ku dapatkan hanyalah sebuah klaim kebenaran aliran dirinya dan ejekan bahkan caci maki terhadap aliran lain, terlebih bergaul dengan agama lain ustad tersebut, tidak disebutkan demi nama baik, menyarankan utuk tidak bergaul dengan orang yang berbeda agama dengan alasan masih banyak orang seagama yang bisa dijadikan teman.

Keyakinanku terhadap tuhan, kebenaran terhadap ibadah ritual agama yang kulakukan mulai memudar. Hal tersebut dikarenakan persoalan yang kutanyakan selalu mendapat jawaban yang singkat serta tidak memuaskan bahkan cenderung mengejek. Ditambah lagi dengan kawan-kawanku yang selalu sinis jika aku bertanya karena dianggap memperlama jam pelajaran.

Karena ingin bisa bergaul secara wajar dengan masyarakat terutama kawan sebaya, aku memutuskan untuk pindah sekolah walau itu harus mendapat tantangan yang sangat keras dari orang tua.

Setelah pindah sekolah ternyata aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Kawan sebayaku secara perlahan mulai mendekatiku secara wajar. Namun pertanyaan-pertanyaan seputar keagamaan masih terus menggelayut, bahkan lebih parah. Hal ini dikarenakan guru-guru agama memandangku lebih faham tentang keagamaan dari pada kawan yang lain.

Ini semakin memperberat beban psikologi yang ku tanggung. Walau aku telah mendapatkan keinginan untuk bisa bergaul dengan bebas. Namun rasa dahaga akan pencarian spiritual dan pencarian suatu kebenaran semakin menggebu. Aku memutuskan untuk mencari pengalaman dengan mengikuti organisasi keislaman yang ekstra di luar sekolah. Selain itu buku-buku keislaman serta filsafat pun coba ku baca dengan harapan bisa memahami ilmu-ilmu agama. Sedikit pencerahan mulai muncul dari benakku akan kebenaran agama. Hingga aku memutuskan untuk masuk perguruan tinggi Islam yang konsen di bidang hukum-hukum Islam

Namun kekecewaan melanda kembali, ketika aku mulai masuk ke perguruan tinggi. Harapan bahwa mahasiswa adalah seorang yang selalu mengkaji dengan radikal seolah menjadi kebohongan belaka. Karena yang kutemui, kebanyakan, hanyalah orang yang butuh nilai akademik yang bagus (dengan cara apapun). Sehingga ruang untuk berdiskusi sesama teman kuliah pasca kuliah pun menjadi jarang atau tidak sama sekali. Selain itu bayangan awal bahwa Perguruan Tinggi Islam diisi oleh laki-laki sholeh serta wanita-wanita yang sholehah runtuh seketika, ketika suatu siang di hari rabu aku menemukan kumpulan kondom bekas di sebuah toilet kampus. Kejadian-kejadian tersebut membuatku kembali mencari pelarian diluar dalam bentuk organisasi ekstra kampus.

Selama mengikuti pelatihan dasar sampai dengan menyelesaikan pelatihan advance di organisasi ekstra tersebut, aku mulai menemukan hal-hal yang dulunya dianggap tabu untuk diucapkan atau ditanyakan tanpa memahami kenapa itu harus tabu. Atau pertanyaan-pertanyaan baik itu berkenaan dengan tuhan atau ritual keagaamaan (baca: ibadah ) yang selama ini senantiasa menggelayut difikiran, perlahan mulai menemukan jawaban yang pada saat ini cukup mengurangi beban fikiranku.

Ibadah yang sering kulakukan pun bukan lagi atas dasar kewajiban semata atau tunduk pada perintah orang tua atau doktrin-doktrin yang disampaikan para ulama. Tapi justru atas dasar kesadaranku sebagai hamba dan bentuk terima kasihku pada pencipta (Tuhan). Pertanyaan akan ada atau tidak adanya tuhan pun perlahan sudah mulai terjawab.

Dalam perjalananku mencari akan kebenaran agama aku menemukan bahwa benar atau tidaknya suatu agama bukan ditentukan oleh manusia, bukan pula ditentukan atas dasar mayoritas atau bahkan lembaga yang berwenang baik itu pemerintah atau bukan. Tapi justru tuhan sendiri lah yang berhak membenarkan mana agama yang paling ia sukai (diridlai).

Pernyataan ini barangkali akan mengandung kontroversi karena paling tidak dalam kitab-kitab suci berbagai agama ada teks yang menyatakan agama siapa yang paling diridlai seperti

1. Islam (Al-Qur’an) :

* Surat al-maidah : 3 yang menyatakan “dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”

* Surat Ali Imran : 19 yang menyatakan Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
* Al-Baqarah : 132 yang menyatakan "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
* Ali-Imran : 85 yang menyatakan “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”

1. Kristen (Injil) disebutkan “Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapak, kalau tidak melalui Aku”. (Yohanes 14 : 6).

1. Hindu (Varita suci) menyebutkan : “di setiap brahma ada nirwana, di setiap nirwana ada brahma”

Dari kutipan-kutipan itulah akhirnya aku menyimpulkan bahwa tidak seorangpun atau siapapun di dunia ini yang berhak mengklaim bahwa agamanyalah atau ajarannyalah yang paling benar dan akan masuk surga ketika ia mendapatkan kematian selain yang menciptakan manusianya itu sendiri.

Oleh karena itu, pada akhirnya kita dimestikan menciptakan kesadaran pada diri kita untuk sesegera mungkin menghilangkan kesombongan dan rasa paling benar, yang ada pada diri kita. Karena bagaimanapun saat ini agama akan semakin berperan penting di masyarakat dengan revolusi teknologi transformasi dan informatika, maka agama – bagaikan dalam dunia bisnis, kini memasuki pusaran informasi internasional.

Ketika islam dipandang sebagai agama masa depan maka akan sangat tidak adil ketika itu hanya sebuah sikap apologetis pendukungan terhadap agama mayoritas atau agama yang dianutnya. Namun harus pula dibuktikan dengan kesanggupan dan kearifan. Kesanggupan dalam arti mampu untuk mendaratkan kesempurnaan ajaran oada sendi-sendi kehidupan bukan hanya dalam ucapan dan konsep belaka. Sedangkan kearifan adalah sejauhmana kita mampu untuk membumikan aspek paling dinamis dan humanis demi kebaikan manusia.

Karena seharusnya agama masa depan tidak akan suram atau dikutiki sebagian orang, tidak akan mengabadikan perkembangan tuhan orang yahudi, konsep yang membawa aturan pada institusi Kristen, tidak akan terfikirkan tuhan yang membesarkan dan memuliakan manusia di taman yang dingin atau sebagai juru selamat yang memutuskan diantara orang yang bersengketa atau sebagai orang yang berkuasa.

Pada akhirnya saya harus membenarkan apa yang diungkapkan oleh Andrew M greely terhadap agama. Ia menyatakan “anda tidak akan menemukan agama di gereja (atau rumah ibadat lainnya) dan sekalipun anda menemukannya, yang anda temui disana biasanya merupakan agama keturunan atau merupakan hal yang sekunder” (religion: a secular theory). Itu pula yang terjadi pada diri saya. Dibesarkan di pesantren tetapi tidak menemukan kebenaran agama. Tapi begitu saya mencoba mencarinya diluaran, ternyata di sana banyak berserak ma’na-ma’na agung yang tersembunyi.

* Pemerhati dan aktivis kebebasan beragama
Read more!

Sampurasun

wilujeng dongkap di blog sim kuring. diantos komentarna sareng pujianana Read more!